Senin, 02 Mei 2011

SEJARAH KoRn ( Godfather of NuMetal )









Cerita tentang KoRn dimulai Persisnya pada saat Fieldy, Munky, dan David, yang sama-sama kelahiran Bakersfield, California, Amerika Serikat, itu sepakat membentuk sebuah band dan berkarier di jalur musik. Tidak seperti sekarang, band yang diberi nama L.A.P.D (singkatan dari Love And Peace Dude) itu awalnya berkutat di jalur funk alternatif semodel Faith No More atau Red Hot Chili Peppers.

Sempat mereguk sukses di lokalan Amerika dan beberapa negara Eropa, karier L.A.P.D terhenti setelah merilis hanya satu album, Who’s Laughing Now? (1991). Penyebabnya tak lain lantaran perilaku para personelnya yang “ajaib”. Hobi betul mereka merusak backstage mereka sendiri. Lebih ajaib lagi, mereka menganggap bahwa semua itu adalah salah satu cara yang efektif untuk mendapatkan publikasi dan sorotan media!
Tentu saja hal itu merepotkan semua pihak yang terlibat. Manajemen serta, tentunya, label yang menaungi mereka. Hingga sampai pada satu titik, pihak label tak tahan lagi lalu langsung memutuskan kontrak.
Pemutusan kontrak itu berefek pula pada bubarnya formasi L.A.P.D, yang sebenarnya sangat menjanjikan. Vokalis mereka saat itu, Richard Morral, terlanda stres berat, dan serta-merta mengundurkan diri.
Untungnya, kehilangan kontrak label plus vokalis tidak menyurutkan semangat. Mereka tetap kukuh melanjutkan cita-cita. Bahkan, dengan penuh percaya diri Fieldy cs merekrut Brian Welch, seorang karib yang kerap menjadi roadies mereka kala L.A.P.D masih berjaya, untuk dijadikan tandem Munky di sektor gitar.
Bersamaan dengan masuknya Brian, mereka pun sepakat buat mengubah warna musik yang diusung. Dari funk alternatif menjadi metal yang lebih agresif.
Lewat satu pertemuan yang tak direncanakan sebelumnya, kuartet ini akhirnya menemukan orang yang tepat untuk mengisi posisi vokalis. Jonathan Davis namanya.
Juga kelahiran Bakersfield, cowok yang saat itu sudah mempunyai pekerjaan tetap sebagai asisten bedah mayat di rumah mayat Kern County itu ditemukan saat sedang tampil di panggung bersama bandnya, SexArt.
Terkesan oleh penampilan dan suara Jon malam itu, Fieldy cs langsung saja memutuskan untuk “membajak”-nya menjadi vokalis mereka. Tidak membutuhkan waktu lama, Jon langsung bilang,”Ya!”
Pilihan yang memang, pada akhirnya, terbukti sangat tidak salah. Pasalnya, selain punya karakter suara yang begitu menyatu dengan musik Fieldy cs, Jon juga punya segudang masa lalu plus pengalaman hidup yang cukup kelam. Pengalaman yang bisa digali lalu dijadikan sumber inspirasi bagi deretan lirik-lirik lagu mereka nantinya.

Ngetop karena kelam
Adalah pertemuan ini juga yang akhirnya membuat musik mereka jadi terasa unik. Bagaimana tidak? Groove-groove bernuansa funky, yang selama ini lebih terasa pas mengiringi musik bernuansa ceria, dipadu dengan besetan gitar distortif yang sengaja dibuat bersteman rendah membalut lirik-lirik yang sama sekali tidak ceria, namun justru sebaliknya, sangat gelap dan mencekam. Saat itu, kecuali Creep (nama mereka sebelum akhirnya diubah menjadi KoRn), tak ada satu band pun yang maju dengan kombinasi sedemikian kontras.
Begitulah. Tiga tahun setelah pertemuan itu, album debut KoRn pun dirilis. Bermodal singel sangar macam Blind dan Daddy, kemunculan mereka seakan membuka keran bagi gelombang metal jenis baru: NuMetal/hip-metal!
Ya. Enggak lama kemudian, langkah dan formulasi yang diracik oleh para personel KoRn langsung ditiru oleh bermacam band. Pemakaian gitar tujuh senar seakan satu keharusan bagi para gitaris metal. Lirik-lirik straight forward yang isinya melulu tentang kepedihan, kemarahan, raungan, serta kemurungan menjadi satu keharusan bagi para vokalis. Dan, tiap-tiap basis atau drumer yang ingin kiprahnya dilihat harus mampu membentuk groove-groove layaknya para musisi hip hop, R&B, atau funky!

Jago mengorganisir konser
Ternyata mereka juga jago mengorganisir konser. Belakangan, hasil kerja mereka menjadi salah satu contoh konser sukses karena kemasannya yang unik. Diberi nama Family Values Tour (FVT), tur tahunan itu mulai digelar pada tahun 1998. Sampai sekarang, FVT masih tetap berlangsung dan masuk dalam daftar tunggu metalheads di Amerika setiap tahunnya.
Keistimewaan tur ini enggak lain lantaran kekuatan para pengisi acaranya. Biarpun tidak terlalu beragam, namun line up yang disusun Jonathan cs mampu mewakili dua kubu yang tadinya dianggap saling berseberangan: metal dan hip hop. Untuk putaran pertama tahun 1998, selain mereka sendiri, Jonathan cs menggamit Ice Cube, Limp Bizkit, Orgy, dan Rammstein.
Selain faktor pengisi acara, sikap simpatik yang ditunjukkan oleh KoRn sebagai penyelenggara yang membuat ajang ini menyedot begitu banyak penonton dan menjadi satu rangkaian tur yang paling ditunggu. Bayangkan saja. Untuk sajian berdurasi sekitar 6-7 jam lengkap dengan pengisi acara nan paten plus atraksi laser dan panggung yang megah, penonton hanya dikenai tiket seharga 30 dollar AS. Sebagai perbandingan, harga tiket untuk konser sejenis saat itu yang termurah berkisar antara 75-85 dollar AS!
Sudah barang tentu hal itu makin melambungkan nama KoRn di mata para penggemar metal. Keberpihakan mereka terhadap fans dianggap sangat jelas. Begitu pun posisi mereka yang dianggap “terhormat” di antara band-band sealiran lainnya. Saat album ketiga, Follow The Leader (1998), dirilis, KoRn praktis sudah menjadi semacam Godfather of NuMetal!
Yap. Disadari atau tidak, dalam perjalanannya, KoRn tergiring masuk ke dalam golongan band-of-the-band. Band yang tak butuh lagi number one hit di berbagai negara untuk dapat diakui. Band yang tak terlalu peduli bahwa albumnya tak lagi mencetak angka penjualan jutaan kopi, melainkan band yang kerap menjadi inspirasi band lainnya untuk berbuat sama. Band yang ada untuk fans dan selalu berorientasi pada kepuasan fans!

Mengerjakan album sendiri

Berbekal prinsip-prinsip dasar band-of-the-band (serta sedikit banyak pengalaman buruk Untouchables) itulah, hampir sepanjang tahun 2003 dihabiskan oleh Jonathan cs di dalam studio, meracik formulasi buat Take A Look In The Mirror.

Tak lagi dibantu oleh produser di luar band–seperti yang biasa mereka lakukan di lima album sebelumnya–kali ini seluruh proses produksi mereka kerjakan sendiri. Mulai dari perumusan konsep, membentuk komposisi dasar, hingga aransemen utuh. Adalah Jonathan yang kemudian didaulat untuk memegang kendali seluruh proses produksi.
“Ah, saya enggak pernah merasa sebagai leader of the band. Dari dulu KoRn adalah milik kami bersama. Dan karenanya masing-masing berhak menjadi bos. Posisi saya selama pembuatan Take A Look…, bisa dibilang hanya sebagai cheerleader. Yang menyemangati dan mendorong teman-teman untuk melakukan yang terbaik!” bantah Jonathan.
Apa pun yang dikatakan oleh Jonathan, yang jelas, pola kerja seperti itu terbukti ampuh. Setidaknya, menurut Jonathan, lebih efisien waktu dan biaya, dengan hasil yang setara, bahkan bisa jadi lebih dari yang dicapai lewat Untouchables.
“Kami enggak lagi mengandalkan open chorus yang megah, melainkan kembali kepada riff-riff yang mengentak, yang jadi ciri khas kami selama ini,” jelas Fieldy.
“Ya. Selama pembuatan album ini, kami selalu berorientasi pada penampilan panggung. Soalnya, materi dari Untouchables terbukti lebih membosankan di atas panggung ketimbang menyenangkan bagi fans!” ujar Munky gemas.
“(Musik) KoRn adalah untuk fans KoRn!” tegas Jonathan. “Kami enggak peduli seberapa banyak album kami ini bakal terjual nantinya. Mau sepuluh juta, sepuluh ribu, atau hanya sepuluh keping pun enggak akan ada bedanya buat kami. Yang terpenting adalah kami dan tentunya fans kami senang dan puas dengan apa yang sudah kami buat!” tambahnya.

Sumber :http://epat.songolimo.net

Minggu, 01 Mei 2011

50 Vokalis Terbaik Indonesia Versi Rolling Stone

Lirik dan notasi merupakan dua bagian yang tak dapat dipisahkan dari sebuah kompoisisi. Manakala kedua unsur tersebut sudah terjalin dengan harmonis, adalah tugas seorang penyanyi untuk menyampaikan keindahan mau pun makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, secara alamiah seorang penyanyi memiliki peran vital dalam komposisi, sebuah realitas yang dasar atau tidak sudah sama-sama dipahami sejak dunia mengenal seni musik. Inilah antara lain yang menjadi dasar pertimbangan Rolling Stone edisi bulan Desember ini untuk memberikan apresiasi kepada mereka, para penyanyi – baik solis mau pun yang merupakan personel dari sebuah kelompok musik.

Seperti biasa, setiap kali berusaha meretas sejarah kita selalu dihadapkan kepada buruknya sistem pendokumentasian selama ini, terutama jika menyangkut akurasi. Contoh kecil adalah kenyataan bahwa piringan hitam Indonesia pada umumnya tidak pernah mencantumkan tahun rilis. Namun hal tersebut adalah kerikil yang harus kami singkirkan.

Para kontributor, pengamat serta penikmat musik sangat terasa dukungannya dalam upaya mencapai hasil yang sahih. Perdebatan sengit berkepanjangan selalu tak terhindarkan. Untunglah semua berada dalam koridor yang sama yaitu dalam rangka merekonstruksi peran seorang penyanyi berdasarkan rekaman yang telah beredar sejak 1960-an hingga hari ini. Tentu semua mengacu kepada kriteria pemilihan bahwa seorang penyanyi haruslah memiliki karakter kuat, piawai dalam teknik vokal, dan menguasai seni panggung yang baik.

Lantas bagaimana sebenarnya para penyanyi generasi sekarang sekarang berinteraksi dengan generasi pendahulu mereka? Kami mengundang sepuluh penyanyi dari berbagai genre untuk menuliskan komentarnya pada sejumlah nama yang telah terpilih. Semua dilakukan guna mengejar kesempurnaan, pada saat yang sama kami menyadari pula bahwa kesempurnaan di sini masih berbaur dengan subjektifitas. Tapi apapun hasilnya biarlah Anda sendiri yang menilai sementara kami tetap pada spirit untuk mendedikasikan Rolling Stone edisi kali ini kepada mereka.

Rolling Stone The 50 Greatest Indonesian Singers

1. Benyamin S.
2. Iwan Fals
3. Chrisye
4. Titiek Puspa
5. Yon & Yok Koeswoyo
6. Vina Panduwinata
7. Ahmad Albar
8. Rhoma Irama
9. Bing Slamet
10. Bimbo
11. Ebiet G. Ade
12. Broery Pesolima
13. Fariz RM
14. Elvi Sukaesih
15. Nicky Astria
16. Hetty Koes Endang
17. Bob Tutupoly
18. Gombloh
19. Gito Rollies
20. Kaka Slank
21. Harvey Malaiholo
22. Ruth Sahanaya
23. Franky & Jane
24. Farid Hardja
25. Utha Likumahuwa
26. Dian Pramana Putra
27. Deddy Stanzah
28. Ellya Khadam
29. Ernie Djohan
30. Trie Utami
31. Kris Dayanti
32. Ari Lasso
33. Armand Maulana
34. Andy /rif
35. Ipank BIP
36. Glenn Fredly
37. David Naif
38. Oppie Andaresta
39. Hari Mukti
40. Once
41. Roy Jeconiah
42. Reza Artamevia
43. Ariel Peterpan
44. Fadly Padi
45. Berlian Hutauruk
46. Margie Siegers
47. Oslan Husein
48. Trison Roxx
49. Katon Bagaskara
50. Melly Goeslaw

Sejarah Musik Hardcore


Munculnya musik Hardcore pada tahun 1970-an.Hardcore awalnya berasal dari musik punk, ada 3 Band yang awalnya membentuk aliran musik hardcore ini. Musik Hardcore ini juga banyak disebut sebagai musik underground karena kebanyakan komunitas musik ini tidak dipublikasikan ke masyarakat dan khlayak luas. Orang tidak akan mengenal siapa sajayang ada di musik Hardcore ini karena tidak mempunyai karakter yang subjektif, musik punk disini dapat dipublikasikan dan dapat dikenal dari ciri khas dan gaya - gaya mereka. dan dikomunitas Hardcore ini tidak memandang profesi siapa dan darimana asal serta umur orang itu.
Di aliran musik ini terdiri dari 3 Band yang mendirikannya, Pertama yaitu Bad Brain yang menyebarkan aliran Hardcore dengan mengadakan konser - konser disebagian kota, sehingga musik Hardcore dapat dikenal oleh khalayak dan masyarakat luas.

Kemudian yang kedua yaitu ada Bad Flag, mereka membentuk aliran ini dengan merubah aransemen lagu step - step menjadi lebih cepat, sehingga Hardcore mempunyai karakter musik sendiri.
dan ketiga adalah Minor Threat pada Band ini yang membedakan antara musik Punk dan Hardcore dengan menyerukan straight age pada komunitasnya yaitu dengan mengajak komunitas Hardcore untuk hidup lebih positif karena pada era tahun 1970-an tersebut banyak pemuda yang menyukai aliran punk yang meninggal dunia dengan sia - sia dikarenakan Narkoba. Minor Threat mengajak bahwa Hardcore yang beraliran keras bukan berarti harus memakai dan menggunakan Narkoba. Straight Age yang kemudian pecah menjadi 2 bagian,yaitu bagian positif yaitu pengikut dari Vegetarian sampai tidak yang merokok, sedangkan bagian yang Negatif kebalikannya.















Awal musik underground/independen

Kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya.
Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gipsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten.
Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih liar dan exstrem untuk ukuran zamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu2x yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP.
Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.
Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam usik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band2x yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota2x besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut.

UNDERGROUND VS IDEALISME
Kata underground periode tahun 90-04 sempat naik daun, dan jadi basis sayap kiri bagi kalangan musisi independen. Di Bandung basis kelompok musisi indie, kata underground diterjemahkan sebagai bawah tanah, dengan arti khusus kebebasan buat berkarya.
“Kami menyebut underground sebagai spirit bermusiknya. Di Bandung underground nggak ada yang istilah paling hebat. Jadi, semua bersaing. Semua memiliki kubu dan massa masing-masing. Beda dengan di Jakarta, dulu ada satu grup yang menjadi pimpinan underground. Di Sukabumi juga begitu, kata salah satu penyiar Radio MGT FM Bandung. Karena kata underground sering diartikan salah kaprah, maka bagi sebagian musisi, kata underground diartikan sebagai band-band pembawa lagu-lagu keras, “wah yang ngomomg kayanya blom lulus buat jadi musisi nih” tapi buat banyak musisi lainnya, underground bisa diisi segala macam jenis musik, selama mereka belum masuk pada major label.
Banyak band2x yang sekarang bernaung di major label, background aslinya adalah band indie juga. toh buat mereka ga ada masalah dengan penggemar panatik mereka ketika masih band indie, apa yang dicapainya sekarang adalah titik kesuksesan berkarir, soalnya kita sedang di dalam ruang lingkup rezeki kalau memang kita bisa masuk ke major label knapa ngga kita manfaatin semaksimal mungkin bukan berarti indie label ngga ngejanjiin masa depan yang bagus. ini tinggal soal peluang yang harus atau ngga diambil sama sekali.
Aliran musik dalam underground bisa sangat beragam, mau yang load voice, midlle voice sampai yang kalem pun itu bisa, yang penting semangat dalam pembawaan nya aja yang jangan di lupain. soalnya semangat / spirit ini lah yang paling penting “UNDERGROUND SPIRIT”. ambil contoh, ketika kita mendengarkan beberapa buah lagu : return of zelda-system of a down, enter sandman-metallica dan american idiot-green day. Yang kita tahu ke tiga lagu tsb sama2x load voice, sama2x dimainkan dengan peralatan musik yang ga jauh beda jenisnya, tapi kalo kita telisik lebih dalam pasti ada banyak perbedaan yang mencolok dari ke tiga nya, apalagi kalo bukan pembawaan ama spiritnya. Hal ini juga lah yang dapat membedakan jenis musik dan aliran apa yang mereka mainkan. Begitu pula dengan undergound, klo selalu di deskripsikan dengan musik yang keras, tentunya itu salah besar.
Namun memang underground lebih dekat dengan jenis musik metal. Jenis musik ini memang jauh dari incaran perusahaan rekaman besar yang, yang biasa disebut major label. Bahkan ada pendapat agak ekstrem, “Kalau band indie masuk major label, pasti konsep bermusiknya jadi beda, karena harus disesuaikan dengan pasar, dan tak dapat beridealis ria lagi.
Pendapat inilah yang ditolak oleh Beng-Beng, Jun Fan Gung Foo dan Noin Bullet dari Bandung. Noin Bullet yang memainkan musik ska-core, awalnya memang indie label, namun kini masuk lingkaran major label Warner Music Indonesia. “ Tapi musik kami tak berubah. Semua lagu yang kami jual dengan indie label, langsung diedarkan lagi oleh Warner, dengan label Warner Music Indonesia. Tanpa berubah, tanpa didikte siapapun, “ kata Chairul, gitaris Noin Bullet. Bersama Beng-Beng, ia curiga, jangan-jangan anak-anak indie banyak iri, karena Pas, Noin Bullet dan beberapa band indie lainnya bisa masuk major label, sementara mereka belum. http://www.newsmusik.net/
Ngomong2x soal idealisme, sebagian besar band2x indie mengusungnya baik dalam karya lagu, pementasan bahkan ada yang membawa idealisme tersebut dalam kehidupannya sehari - hari. Macam2x jenis idealisme yang di usung band2 indie tsb, diantaranya : Idealis terhadap isu anti kemapanan, Idealis terhadap isu anti major label, Idealis terhadap isu sosial, politik dan ekonomi bahkan ada yang lebih extrem yaitu Idealis dengan atheisme atau tidak percaya terhadap adanya Tuhan. Cuman untuk point yang ke empat ini kita akan sangat sulit untuk menjumpainya.
Banyak band-band indie yang sejak awal sudah idealis salah satunya alergi sama major label, dan tak mau menawarkan lagu2x karyanya ke sana. Padahal banyak contoh menarik tentang band-band indie yang masuk major label, seperti Netral, Pas, Jun Fan Gung Foo dan Sucker Head.
Berikut adalah sebagian kecil band2x indie asli made in bandung yang mungkin dapat gw inget, yang eksistensinya masih dapat kita jumpai :
Jack and the four man, Koil, Polyester embassy, The tomato, Rocket rocker, Alone at last, Closehead, Mobil derek, Disconnected, The s.i.g.i.t, Mocca, Tcukimay, Pure saturday, A stone A, Retrieval, Restless, Hellgods, Jeruji, Laluna, Maymelian, Burgerkill, Bak sampah dll
Akhirnya, dalam keluarga underground alias independen itu, ada jenis musik yang beragam : industrial-techno, hardcore, brutal death metal, punk, hardrock, ska, alternative, black metal dan lainnya.

UNDERGROUND VS INDIE

Indie Indonesia Era 2000-an
Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an?
Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam.
Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan. Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom indie dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah indie atau underground ini di tanah air.
Sebagian orang memandang istilah underground semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang sell-out, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih elastis dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.
Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi panglima sekaran